by gl75FKPUUayArC | Jun 30, 2014 | Uncategorized
Isu perubahan iklim dan pemanasan global memang jadi perhatian seluruh dunia pada beberapa tahun terakhir ini. Salah satu penyebabnya adalah emisi karbon dioksida di atmosfer yang sudah sampai pada level yang mengkhawatirkan. Akibatnya cuaca jadi tidak menentu dan suhu bumi cenderung naik. Dampak yang lebih ekstremnya: bencana alam tak terduga dan es kutub yang semakin mencair. Namun baru-baru ini, beberapa ilmuwan di California menemukan fakta bahwa perubahan iklim juga turut mempengaruhi kualitas bahan pangan.
Selama hampir dua dekade, para ilmuwan di Amerika dan juga di belahan bumi lainnya melakukan simulasi kecil-kecilan tentang efek langsung karbon dioksida terhadap beberapa bahan pangan yang umum dikonsumsi oleh orang-orang. Mereka bereksperimen dengan sawah atau perkebunan yang dialiri pipa berisikan karbon dioksida. Tujuannya adalah untuk menambah konsentrasi karbon dioksida di sekitar area sawah.
Para ilmuwan kemudian mendapatkan temuan baru dengan membandingkan sampel tanaman gandum yang tumbuh dalam udara berkarbon dioksida tinggi dengan tanaman gandum yang tumbuh dalam udara yang normal. Studi yang dilakukan oleh University of California ini menemukan fakta mengejutkan di mana kadar protein dalam tanaman gandum berkurang cukup signifikan karena terus-terusan mendapatkan karbon dioksida dengan kadar lumayan tinggi. Padahal, tingkat pertumbuhan tanaman meningkat sebanyak 13 persen.
Karbon dioksida memang sangat dibutuhkan tumbuhan untuk tumbuh, namun jika kadarnya terlalu banyak juga berakibat buruk terhadap tumbuhan tersebut. Dengan mengambil CO2 yang lebih banyak dari udara, tumbuhan akan menyisakan sedikit ruang untuk nitrogen, yang justru penting untuk pembentukan protein. Hasilnya tanaman akan lebih cepat tumbuh, namun nutrisi yang ada di dalamnya semakin berkurang.
Studi ini juga memberikan prediksi untuk beberapa dekade ke depan, di mana konsumsi protein manusia akan berkurang sebanyak 3 persen. Terutama bagi masyarakat Barat, di mana gandum sangat populer sebagai salah satu makanan pokok dan penyumbang nutrisi utama terutama protein. Wah, jika makanan pokoknya saja sudah tercemar, orang-orang tentu akan lebih sulit untuk hidup sehat.
Namun, Arnold Bloom yang tergabung dalam tim peneliti University of California memberikan solusi untuk hal ini. Arnold menyarankan agar orang-orang mengonsumsi protein lebih banyak dari bahan makanan lain untuk mencukupi kebutuhan protein yang kurang dari gandum atau makanan pokok lainnya.
Nah, kalau masalah protein tentu jangan sampai melupakan kedelai sebagai salah satu makanan alternatif kaya protein. Kandungan protein kedelai termasuk salah satu yang paling tinggi. Kandungan protein dalam kacang kedelai mencapai 36 g, sementara gandum “hanya” 14 g. Selain itu, kedelai juga tergolong rendah karbohidrat sehingga lebih ramah terhadap kadar gula dalam darah.
Wah gara-gara global warming, sepertinya kita harus mulai lebih rajin lagi mengonsumsi tempe atau tahu.
Sumber: thinkprogress.org, nationalgeographic.com
by gl75FKPUUayArC | Jun 25, 2014 | Healthy Living
Jutaan mata di seluruh dunia kini tertuju pada turnamen sepak bola World Cup 2014 di Brazil. Tidak heran, soalnya sepak bola sering menyajikan pertandingan yang emosional. Apalagi jika pertandingan tersebut melibatkan tim favorit Anda, wah bisa campur aduk rasanya. Boleh dibilang apa yang pemain rasakan di lapangan, juga Anda rasakan di depan layar TV. Apa sebabnya?
Ketika menonton pertandingan olahraga, tubuh juga mengalami perubahan kimiawi, termasuk di antaranya mengeluarkan hormon seperti kortisol dan adrenalin yang langsung mempengaruhi detak jantung dan tekanan darah.
Akibatnya kita jadi deg-degan, apalagi jika sedang menonton big match dan banyak momen-momen menegangkan yang berlangsung di pertandingan tersebut. Jika dihitung, biasanya ada peningkatan kadar darah yang dipompa ke jantung sebanyak 300 atau 400 persen. Memang, hal ini menjadi sensasi tersendiri ketika nonton bola, tapi jika ditilik lagi, angka ini bisa berbahaya bagi para penderita darah tinggi.
Bahkan, menurut British Medical Journal di tahun 2002, ada kaitan antara meningkatnya kasus serangan jantung dengan kebiasaan orang menonton pertandingan olahraga seperti sepak bola.
Efek deg-degan ini biasanya berlangsung setelah 30 menit atau paling lama 2 jam. Tapi beda kasusnya jika yang Anda tonton adalah tim kesayangan Anda. Ada kemungkinan Anda akan mengalami efek fisiknya selama berhari-hari, apalagi jika tim Anda kalah. Tak cuma deg-degan, bisa jadi Anda menjadi cemas dan sedikit depresi karena kekalahan tim kesayangan Anda.
Oleh karena itu agar tetap sehat menonton sepak bola, Anda disarankan untuk menjaga pola ngemil Anda selama menonton. Jauhi gula, karbohidrat, atau alkohol. Cemilan yang high GI ditambah dengan kurangnya aktivitas fisik bisa meningkatkan risiko diabetes ketika menonton TV. Maka dari itu selain memilih cemilan yang sehat, Anda juga bisa jalan-jalan sebentar di jeda pertandingan atau melakukan aktivitas fisik yang lain di rumah Anda.
Solusi lainnya, Anda bisa tetap ngemil selama pertandingan asalkan cemilan yang dimakan termasuk cemilan low GI dan mengandung kalium. Kombinasi kalium dan low GI biasanya terdapat pada kacang dan juga pada buah-buahan seperti pisang atau mangga. Bagi Anda yang sering merasa deg-degan ketika menonton sepak bola, kalium terbukti dapat mengontrol detak jatuh dan tekanan darah agar lebih stabil.
Jika memang ingin lebih praktis, Anda dapat menyiapkan SOYJOY Mango Coconut sebagai teman nonton bola Anda. Selamat menonton!
Sumber: phoenix.edu; kompas.com
by gl75FKPUUayArC | Jun 25, 2014 | Uncategorized
Jutaan mata di seluruh dunia kini tertuju pada turnamen sepak bola World Cup 2014 di Brazil. Tidak heran, soalnya sepak bola sering menyajikan pertandingan yang emosional. Apalagi jika pertandingan tersebut melibatkan tim favorit Anda, wah bisa campur aduk rasanya. Boleh dibilang apa yang pemain rasakan di lapangan, juga Anda rasakan di depan layar TV. Apa sebabnya?
Ketika menonton pertandingan olahraga, tubuh juga mengalami perubahan kimiawi, termasuk di antaranya mengeluarkan hormon seperti kortisol dan adrenalin yang langsung mempengaruhi detak jantung dan tekanan darah.
Akibatnya kita jadi deg-degan, apalagi jika sedang menonton big match dan banyak momen-momen menegangkan yang berlangsung di pertandingan tersebut. Jika dihitung, biasanya ada peningkatan kadar darah yang dipompa ke jantung sebanyak 300 atau 400 persen. Memang, hal ini menjadi sensasi tersendiri ketika nonton bola, tapi jika ditilik lagi, angka ini bisa berbahaya bagi para penderita darah tinggi.
Bahkan, menurut British Medical Journal di tahun 2002, ada kaitan antara meningkatnya kasus serangan jantung dengan kebiasaan orang menonton pertandingan olahraga seperti sepak bola.
Efek deg-degan ini biasanya berlangsung setelah 30 menit atau paling lama 2 jam. Tapi beda kasusnya jika yang Anda tonton adalah tim kesayangan Anda. Ada kemungkinan Anda akan mengalami efek fisiknya selama berhari-hari, apalagi jika tim Anda kalah. Tak cuma deg-degan, bisa jadi Anda menjadi cemas dan sedikit depresi karena kekalahan tim kesayangan Anda.
Oleh karena itu agar tetap sehat menonton sepak bola, Anda disarankan untuk menjaga pola ngemil Anda selama menonton. Jauhi gula, karbohidrat, atau alkohol. Cemilan yang high GI ditambah dengan kurangnya aktivitas fisik bisa meningkatkan risiko diabetes ketika menonton TV. Maka dari itu selain memilih cemilan yang sehat, Anda juga bisa jalan-jalan sebentar di jeda pertandingan atau melakukan aktivitas fisik yang lain di rumah Anda.
Solusi lainnya, Anda bisa tetap ngemil selama pertandingan asalkan cemilan yang dimakan termasuk cemilan low GI dan mengandung kalium. Kombinasi kalium dan low GI biasanya terdapat pada kacang dan juga pada buah-buahan seperti pisang atau mangga. Bagi Anda yang sering merasa deg-degan ketika menonton sepak bola, kalium terbukti dapat mengontrol detak jatuh dan tekanan darah agar lebih stabil.
Jika memang ingin lebih praktis, Anda dapat menyiapkan SOYJOY Mango Coconut sebagai teman nonton bola Anda. Selamat menonton!
Sumber: phoenix.edu; kompas.com
by gl75FKPUUayArC | Jun 23, 2014 | Healthy Living
Tak terasa Jakarta sudah genap berumur 487 tahun. Ibu kota Indonesia ini memang telah bertransformasi menjadi kota metropolitan semenjak didirikan pada tahun 1527. Penduduk yang padat, ruang hidup yang sempit, dan udara yang kurang berkualitas adalah beberapa dari sekian carut marut yang ada di kota ini. Tapi jika dilihat lagi, ada beberapa aspek positif yang dapat diambil jika Anda tinggal di kota besar, terutama terkait kesehatan. Apa saja aspek-aspek tersebut?
1. Fasilitas kesehatan lebih lengkap
Penyakit bisa menyerang siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Untungnya, seiring membaiknya kualitas layanan masyarakat di tanah air, kini kita bisa menemukan fasilitas layanan kesehatan di berbagai penjuru daerah, baik dalam bentuk puskesmas maupun klinik yang dioperasikan oleh swasta. Hanya saja, keterbatasan dalam pendanaan serta distribusi sumber daya manusia mengakibatkan masih terfokusnya layanan kesehatan berkualitas di daerah perkotaan. Peralatan medis mutakhir serta tenaga dokter spesialis, kebanyakan baru bisa diakses dari rumah sakit yang berlokasi di kota besar.
2. Tingkat obesitas lebih rendah
Berbeda dengan anggapan banyak orang, jumlah penyandang obesitas di kalangan penduduk desa ternyata lebih tinggi dibandingkan mereka yang bermukim di perkotaan. Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan di The Journal of Rural Health, tingkat obesitas penduduk desa di Amerika mencapai 39,6%, dibandingkan penduduk kota yang hanya sejumlah 33,4%. Salah satu penyebab yang mendasarinya adalah kurangnya alternatif kegiatan yang bisa dilakukan penduduk desa dibandingkan yang bermukim di kota. Seperti yang kita ketahui, obesitas adalah biang keladi munculnya berbagai masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan sebagainya.
3. Tingkat kecelakaan lebih rendah
Sebuah penelitian yang dilakukan di University of Pennsylvania School of Medicine membuktikan bahwa angka kecelakaan yang mengakibatkan kematian di perkotaan ternyata lebih rendah sekitar 20% dibandingkan di daerah pedesaan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah terbatasnya akses masyarakat pedesaan akan fasilitas layanan medis yang mumpuni untuk menghindari konsekuensi serius yang menjurus pada kematian.
4. Masa tua lebih sejahtera
Tinggal di pedesaan adalah impian banyak orang untuk mengisi masa-masa pensiun. Udara sejuk ditambah suasana yang senyap adalah daya tarik utama yang melatarbelakanginya. Padahal, berdasarkan sebuah riset yang dilakukan di University of Virginia, Amerika, tinggal di kota justru bisa jadi merupakan opsi yang lebih baik bagi kaum manula. Selain akses yang lebih mudah menuju layanan kesehatan, layanan transportasi umum di kota juga lebih baik dibandingkan di desa, sehingga memudahkan setiap orang dari berbagai usia untuk bepergian ke mana-mana.
Jadi janganlah terlalu sering mengeluh jika Anda tinggal di kota besar seperti Jakarta. Banyak hal-hal positif yang juga dapat diambil dari kota tersebut. Selamat berulang tahun ke-487, Jakarta!
?
Sumber: guardian.com; ft.com; sciencedaily.com
by gl75FKPUUayArC | Jun 23, 2014 | Uncategorized
Tak terasa Jakarta sudah genap berumur 487 tahun. Ibu kota Indonesia ini memang telah bertransformasi menjadi kota metropolitan semenjak didirikan pada tahun 1527. Penduduk yang padat, ruang hidup yang sempit, dan udara yang kurang berkualitas adalah beberapa dari sekian carut marut yang ada di kota ini. Tapi jika dilihat lagi, ada beberapa aspek positif yang dapat diambil jika Anda tinggal di kota besar, terutama terkait kesehatan. Apa saja aspek-aspek tersebut?
1. Fasilitas kesehatan lebih lengkap
Penyakit bisa menyerang siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Untungnya, seiring membaiknya kualitas layanan masyarakat di tanah air, kini kita bisa menemukan fasilitas layanan kesehatan di berbagai penjuru daerah, baik dalam bentuk puskesmas maupun klinik yang dioperasikan oleh swasta. Hanya saja, keterbatasan dalam pendanaan serta distribusi sumber daya manusia mengakibatkan masih terfokusnya layanan kesehatan berkualitas di daerah perkotaan. Peralatan medis mutakhir serta tenaga dokter spesialis, kebanyakan baru bisa diakses dari rumah sakit yang berlokasi di kota besar.
2. Tingkat obesitas lebih rendah
Berbeda dengan anggapan banyak orang, jumlah penyandang obesitas di kalangan penduduk desa ternyata lebih tinggi dibandingkan mereka yang bermukim di perkotaan. Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan di The Journal of Rural Health, tingkat obesitas penduduk desa di Amerika mencapai 39,6%, dibandingkan penduduk kota yang hanya sejumlah 33,4%. Salah satu penyebab yang mendasarinya adalah kurangnya alternatif kegiatan yang bisa dilakukan penduduk desa dibandingkan yang bermukim di kota. Seperti yang kita ketahui, obesitas adalah biang keladi munculnya berbagai masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan sebagainya.
3. Tingkat kecelakaan lebih rendah
Sebuah penelitian yang dilakukan di University of Pennsylvania School of Medicine membuktikan bahwa angka kecelakaan yang mengakibatkan kematian di perkotaan ternyata lebih rendah sekitar 20% dibandingkan di daerah pedesaan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah terbatasnya akses masyarakat pedesaan akan fasilitas layanan medis yang mumpuni untuk menghindari konsekuensi serius yang menjurus pada kematian.
4. Masa tua lebih sejahtera
Tinggal di pedesaan adalah impian banyak orang untuk mengisi masa-masa pensiun. Udara sejuk ditambah suasana yang senyap adalah daya tarik utama yang melatarbelakanginya. Padahal, berdasarkan sebuah riset yang dilakukan di University of Virginia, Amerika, tinggal di kota justru bisa jadi merupakan opsi yang lebih baik bagi kaum manula. Selain akses yang lebih mudah menuju layanan kesehatan, layanan transportasi umum di kota juga lebih baik dibandingkan di desa, sehingga memudahkan setiap orang dari berbagai usia untuk bepergian ke mana-mana.
Jadi janganlah terlalu sering mengeluh jika Anda tinggal di kota besar seperti Jakarta. Banyak hal-hal positif yang juga dapat diambil dari kota tersebut. Selamat berulang tahun ke-487, Jakarta!
?
Sumber: guardian.com; ft.com; sciencedaily.com