Emotional eating bisa membuat kamu makan berlebihan tanpa disadari. Ini cara mendeteksinya. Emotional eating alias aktivitas makan karena dorongan emosi adalah salah satu biang keladi gagalnya program pencapaian berat badan ideal. Masalahnya, tak sedikit orang yang mengalami emotional eatingnamun tidak menyadarinya. Alhasil, kebiasaan ini baru terdeteksi ketika jarum timbangan sudah jauh tergelincir ke sisi kanan. Sebelum terlambat, kenali tanda-tanda emotional eating dan lakukan sesuatu untuk mengatasinya. Apa itu emotional eating? Yang disebut emotional eating adalah aktivitas makan yang dilakukan untuk menekan atau meredakan emosi negatif yang dirasakan pelakunya, seperti stres, marah, takut, bosan, sedih, dan kesepian. Berbagai masalah, mulai dari putus cinta, beban pekerjaan, kelelahan, masalah finansial, gangguan kesehatan, atau sekadar perasaan bosan, bisa menjadi pemicu perilaku emotional eating. Jenis makanan yang menjadi sasaran perilaku emotional eating biasanya adalah makanan manis, berlemak, dan berkalori tinggi seperti es krim, kue-kue manis, keripik kentang, dan aneka jenis fast food. Pasalnya, jenis-jenis makanan tersebut mampu membuat kadar gula darah melesat seketika setelah disantap, sehingga mendatangkan perasaan senang. Sayangnya, perasaan tersebut hanya muncul sekejap, karena begitu emosi negatif tersebut datang lagi, keinginan untuk makan akan kembali muncul. Ini ciri-ciri kamu mengalami emotional eating Carol Cottrill, ahli gizi dari New York mengatakan bahwa perilaku emotional eating bisa dideteksi dengan mengamati beberapa gejala berikut: 1. Rasa lapar datang tiba-tiba. Rasa lapar yang dipengaruhi oleh emosi hadir secara tiba-tiba, beda dengan rasa lapar karena kebutuhan fisik yang datang secara bertahap. Jika diamati, rasa lapar akibat emotional eating biasanya hadir ketika kamu sedang mengalami perasaan tertekan—misalnya saat menghadapi deadline, baru saja bertengkar, atau sedang kelelahan.   2. Ingin makan makanan tertentu Pelaku emotional eating biasanya merasakan keinginan mendesak untuk makan satu jenis makanan secara spesifik, entah itu cokelat, kukis, es krim, dan sebagainya. Persis seperti gejala “ngidam”. Beda dengan rasa lapar alami yang tidak memiliki target makanan secara spesifik.   3. Tak kunjung kenyang Meski sudah melahap seporsi kentang goreng, satu scoop es krim, atau sebungkus keripik, orang yang makan karena emotional eating tak kunjung merasakan sinyal kenyang. Beda dengan rasa lapar secara fisik yang sudah mulai bisa dipuaskan dengan menyantap seporsi makanan apa pun.   4. Merasa menyesal setelah makan Pelaku emotional eating biasanya merasakan penyesalan setelah selesai makan. Jauh di dalam hati, sebenarnya mereka tahu bahwa kegiatan makan yang baru saja dilakukan tidak didasari oleh kebutuhan fisik, melainkan kebutuhan emosi. Masalahnya, emosi negatif berupa penyesalan ini kerap kali memperparah kondisi orang yang mengalami emotional eating, sehingga keinginan untuk makan justru bertambah intens.   Cara mengatasinya Cara efektif untuk mengatasi perilaku emotional eating adalah dengan berlatih mengelola stres dan emosi negatif lainnya secara benar. Latihan pernapasan, yoga, ataupun berbincang dari hati ke hati dengan sahabat adalah beberapa hal yang bisa kamu lakukan. Bila emotional eating dilakukan karena rasa bosan, maka temukan aktivitas lain—seperti menekuni hobi, olahraga, atau bekerja untuk mencari uang tambahan; yang bermanfaat dan mampu mengalihkan perhatian kamu dari keinginan untuk makan. Kalaupun hendak makan, pilih makanan dan camilan sehat seperti SOYJOY yang kaya kandungan protein, serat,  vitamin, dan mineral. Karena terbuat dari kedelai utuh dan buah-buahan asli, SOYJOY juga lezat dan kaya serat, sehingga mampu memuaskan keinginan untuk ngemil dan bisa mempertahankan rasa kenyang lebih lama.

deneme bonusu veren siteler
betticket
betebet
venüsbet
bonus veren siteler
deneme bonusu veren siteler
Deneme bonusu veren siteler Deneme bonusu veren siteler Deneme bonusu veren siteler Deneme bonusu