Waspada Yo-Yo Effect setelah Lebaran!

Waspada Yo-Yo Effect setelah Lebaran!

Puasa Ramadan sering dianggap sebagai momen yang tepat untuk menurunkan berat badan karena pola makan bisa lebih terbatas sehingga penurunan berat badan menjadi lebih mudah dicapai. Namun sayangnya, fenomena yo-yo effect sering menghantui setelah Ramadan, terutama saat Lebaran. Berat badan yang turun bisa kembali naik, bahkan melebihi sebelum puasa1. Fenomena ini sangat disayangkan, terutama bagi mereka yang berada dalam kategori overweight atau obesitas dan sedang berusaha menurunkan berat badan. 

Apa itu Yo-Yo Effect? 

Yo-yo effect adalah kondisi ketika seseorang mengalami penurunan berat badan, tetapi kemudian kembali naik dalam waktu singkat akibat pola makan yang tidak terkontrol. Hal ini disebabkan oleh perubahan pola makan yang signifikan serta pengaruh hormon leptin, yang berperan dalam mengatur nafsu makan dan rasa kenyang. Selama puasa, kadar leptin menurun, sehingga setelah Ramadan, tubuh cenderung merasa lebih lapar dan mendorong konsumsi makanan dalam jumlah lebih besar, terutama makanan tinggi kalori dan gula2. 

Kenapa berat badan bisa naik lagi setelah lebaran? 

Setelah Lebaran, pola makan kembali berubah drastis. Pada saat berpuasa tubuh kita terbiasa oleh konsumsi makanan utama yang mungkin hanya 2 kali dalam sehari. Namun setelah lebaran, tubuh kita harus kembali beradaptasi dengan pola makan 3 kali makan utama dalam sehari.

Selain itu, makanan khas lebaran, seperti opor, rendang, ketupat, dan kue kering cenderung memiliki kandungan kalori yang tinggi, sehingga mudah menyebabkan surplus kalori yang berujung pada peningkatan berat badan. 

Cara Mencegah Yo-Yo Effect Setelah Lebaran 

Apabila ingin berat badan tetap stabil setelah Lebaran, berikut beberapa langkah yang bisa diterapkan: 

1. Tetap mengontrol porsi makan 

Gunakan piring kecil dan pilih makanan dengan porsi yang seimbang. Jangan langsung mengambil banyak makanan dalam sekali waktu. 

2. Pilih makanan dengan indeks glikemik rendah 

Makanan rendah indeks glikemik dapat membantu menjaga kadar gula darah tetap stabil dan mengurangi rasa lapar yang berlebihan. Kamu bisa mulai memilih makanan yang memiliki indeks glikemik rendah seperti SOYJOY Kurma Nastar.

Snack bar ini terbuat dari kebaikan kedelai utuh dan kombinasi nanas serta kurma yang tinggi serat dan memiliki indeks glikemik rendah. Tidak hanya itu, sensasi rasa nastarnya pun dapat menambah kenikmatan saat kamu konsumsi SOYJOY Kurma Nastar loh! Kamu bisa dapatkan SOYJOY Kurma Nastar di Indomaret terdekat dan Toko Otsuka di Tokopedia dan Shopee.

3. Perbanyak serat dan protein 

Konsumsi kacang-kacangan, sayur, buah, dan protein seperti tahu, tempe, serta ikan terbukti dapat memberikan hasil yang baik dalam hal berat badan, seperti BMI yang lebih rendah, lingkar pinggang, atau persen lemak tubuh, dan mengurangi risiko obesitas3. Selain itu, serat dan protein yang terkandung dalam makanan-makanan tersebut dapat membantu meningkatkan rasa kenyang lebih lama dan mencegah kalap makan4. 

4. Praktikkan Mindful Eating 

Makanlah dengan perlahan dan nikmati setiap suapan. Hindari makan sambil menonton TV atau mengobrol terlalu banyak agar tetap sadar dengan jumlah makanan yang dikonsumsi. 

5. Stay active! 

Jangan lupakan aktivitas fisik setelah Lebaran! Mulailah dengan jalan santai, bersepeda, atau olahraga ringan agar tubuh tetap membakar kalori secara optimal. 

Jangan sampai usaha menurunkan berat badan selama Ramadan sia-sia akibat pola makan yang tidak terkontrol saat Lebaran. Harapannya, dengan memahami fenomena yo-yo effect dan menerapkan pola makan yang lebih sehat setelah Lebaran, kita bisa menjaga berat badan tetap stabil. Lebaran adalah waktu untuk berkumpul dan berbagi kebahagiaan, bukan sekadar pesta makan tanpa kendali. Mari nikmati hidangan dengan penuh kesadaran agar tubuh tetap sehat dan bugar!  

Author: Dian Rahma, S.Gz, Dietisien
Editor : Deny Nurkhaedi Ramadhani – Graphic Design Marketing Food

Referensi: 

1. Majid, A., Osama, M., Noman, M., Nisa, U., & Haider, I. (2023). Effect of Ramadan Fasting on Body Weight and Body Mass Index (BMI) in Public Sector Undergraduate Medical Students of Peshawar. Pakistan journal of medical sciences, 39(3), 662–666. https://doi.org/10.12669/pjms.39.3.7017 

2. Muhammad, H. F. L., Latifah, F. N., & Susilowati, R. (2018). The yo-yo effect of Ramadan fasting on overweight/obese individuals in Indonesian: A prospective study. Mediterranean Journal of Nutrition and Metabolism, 11(2), 127-133. 

3. Boushey, C., Ard, J., Bazzano, L., Heymsfield, S., Mayer-Davis, E., Sabaté, J., … & Obbagy, J. (2022). Dietary patterns and growth, size, body composition, and/or risk of overweight or obesity: a systematic review. 

4. Listyarani, H., Prayudani, A. P. G., Prihandari, R., Prangdimurti, E., & Astawan, M. (2024, June). Effect of snack bar type on satiation and sensory acceptance in young adults. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 1359, No. 1, p. 012005). IOP Publishing. 

Waspada Yo-Yo Effect setelah Lebaran!

Mindful Eating saat Lebaran: Makan Enak Tanpa Takut Lebar-an

 Lebaran identik dengan momen kebersamaan dan juga aneka hidangan lezat seperti opor ayam, rendang, ketupat, dan beragam kue kering. Namun, di balik kelezatannya, makanan khas Lebaran umumnya mengandung kalori yang tinggi karena kaya akan santan, gula, dan lemak. Misalnya, dalam 1 porsi opor ayam, kalori yang terkadung ±400 kkal, 1 potong rendang ±120 kkal, 1 buah ketupat ±180 kkal, 3 buah kastengel ±60 kkal, dan 3 buah nastar ±230 kkal. Apabila hidangan khas lebaran tersebut tidak kita konsumsi secara mindful, maka akan berpotensi menimbulkan kondisi surplus kalori. 

Surplus kalori adalah kondisi dimana asupan kalori harian lebih banyak dibandingkan jumlah kalori yang digunakan oleh tubuh untuk aktivitas dan metabolisme. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak tubuh, yang jika terjadi secara terus-menerus, akan meningkatkan berat badan1. Jika tidak dikontrol, total asupan kalori dari makanan Lebaran dalam sehari bisa dengan mudah melebihi kebutuhan harian, yang berkisar pada 2.100 kkal tergantung pada usia, jenis kelamin, dan aktivitas fisik2. 

Nah, agar tetap bisa menikmati makanan khas lebaran favoritmu tanpa khawatir berat badan melonjak, menerapkan mindful eating bisa menjadi solusi yang tepat, loh! 

Mindful eating adalah praktik makan dengan penuh kesadaran, di mana kita benar-benar menikmati makanan dan mendengarkan sinyal tubuh saat lapar dan kenyang. Ini membantu mengontrol nafsu makan, menghindari kebiasaan makan berlebihan, dan tetap menikmati hidangan favorit tanpa rasa bersalah3. 

Yuk coba tips berikut untuk menerapkan mindful eating saat Lebaran: 

1. Makan secara perlahan 

Nikmati setiap gigitan, kunyah dengan baik, dan rasakan rasa serta tekstur makanan. Makan secara perlahan dapat memberikan waktu untuk tubuh mengenali sinyal kenyang dengan lebih cepat. 

2. Gunakan piring kecil 

Mengambil makanan dengan menggunakan piring kecil dapat membantu mengontrol porsi makan agar tidak berlebihan. 

3. Mulai dengan makanan berserat tinggi 

Konsumsi makanan tinggi serat, seperti kacang-kacangan, sayur, atau buah sebelum makanan utama dapat membantu meningkatkan rasa kenyang lebih lama sehingga risiko kalap makan dapat diminimalisir. 

4. Makan tanpa distraksi dan berhenti makan sebelum terlalu kenyang 

Hindari makan sambil menonton TV dan distraksi lainnya. Makan dalam kondisi fokus penuh akan membantu kita untuk lebih sadar akan porsi makanan yang kita konsumsi. Selain itu, penting untuk mengenali tanda kenyang dan jangan memaksakan makan berlebihan. 

5. Perhatikan komposisi makanan yang dikonsumsi 

Kita dapat mengestimasikan kandungan kalori dalam makanan yang kita konsumsi dengan mengenali komposisinya. Misalnya makanan yang mengandung kacang-kacangan, buah-buahan, dan protein kemungkinan akan memiliki kalori yang lebih rendah dan serat yang lebih tinggi jika dibandingkan makanan yang hanya mengandung tepung dan gula. 

 

Misalnya, dalam 1 bar (30 gram) SOYJOY Kurma Nastar mengandung 150 kkal dan 3 gram serat, sedangkan dalam jumlah yang sama, 2 buah (30 gram) Nastar mengandung 153 kkal dan 0,6 gram serat. Kandungan seratnya cukup jauh berbeda bukan? 

Apabila kita bisa menerapkan mindful eating dan memilih makanan yang tepat baik secara jenis dan jumlahnya, Lebaran tidak harus selalu identik dengan kenaikan berat badan kok. Ingat, Lebaran adalah momen kebersamaan, bukan ajang makan tanpa batas! Selamat menikmati hidangan dengan bijak!  

Author: Dian Rahma, S.Gz, Dietisien
Editor: Deny Nurkhaedi Ramadhani. (Graphic Design Marketing Food)

Referensi: 

1. Leaf, A., & Antonio, J. (2017). The Effects of Overfeeding on Body Composition: The Role of Macronutrient Composition – A Narrative Review. International journal of exercise science, 10(8), 1275–1296. https://doi.org/10.70252/HPPF5281 

2. Kemenkes, R. I. (2019). Permenkes No. 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 28, 13. 

3. Nelson J. B. (2017). Mindful Eating: The Art of Presence While You Eat. Diabetes spectrum : a publication of the American Diabetes Association, 30(3), 171–174. https://doi.org/10.2337/ds17-0015 

Diabetesi ingin Berpuasa Ramadan? Pastikan Hal-hal berikut Terpenuhi!

Diabetesi ingin Berpuasa Ramadan? Pastikan Hal-hal berikut Terpenuhi!

Ramadan adalah salah satu bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat islam di seluruh dunia, tak terkecuali penyadang diabetes atau yang kita kenal dengan diabetesi. Pada bulan ini umat islam memiliki kewajiban untuk menjalankan ibadah puasa yang dilakukan sejak sebelum terbitnya Fajar hingga terbenamnya matahari. Berdasarkan beberapa penelitian, orang-orang mungkin akan mengalami beberapa perubahan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kebiasaan makan, kebiasaan tidur, dan mungkin juga perubahan metabolisme tubuh1. 

Pertanyaan terbesar yang kerap kali muncul adalah “apakah diabetesi boleh berpuasa?”. Kekhawatiran utama yang sering muncul adalah bagaimana cara menjaga kadar gula darah tetap stabil selama menjalani puasa seharian. Kabar baiknya, menurut Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) dan International Diabetes Federation (IDF), diabetesi tetap dapat menjalankan ibadah puasa asalkan memenuhi beberapa prasyarat penting berikut: 

1. Gula darah terkontrol dengan baik 

Sebelum memutuskan untuk berpuasa, diabetesi perlu melakukan pemeriksaaan kesehatan seperti pemeriksaan kadar gula darah, tekanan darah, lemak darah. Umumnya, apabila gula darah terkontrol dengan baik, kesempatan untuk berpuasa akan lebih besar. Selain itu, diabetesi juga akan dinilai kategori risikonya, apabila termasuk dalam kategori rendah, maka diperbolehkan untuk berpuasa2,3. 

2. Tidak memiliki komplikasi diabetes berat 

Diabetesi yang mengalami komplikasi seperti gangguan ginjal, penyakit jantung, atau riwayat hipoglikemia berulang sebaiknya menghindari puasa. Komplikasi ini bisa memperburuk kondisi tubuh saat tidak mendapat asupan makanan dan minuman dalam waktu lama4. 

3. Mendapat persetujuan dari dokter 

Sebelum berpuasa, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi agar mendapatkan rekomendasi pola makan dan pengaturan obat yang sesuai. Dokter mungkin akan melakukan beberapa penyesuaian dalam dosis atau jenis obat yang dikonsumsi. 

4. Mampu mengenali tanda-tanda hipoglikemia dan hiperglikemia 

Saat berpuasa, diabetesi harus peka terhadap kondisi tubuhnya. Jika merasa lemas, berkeringat dingin, pusing, atau gemetar, itu bisa menjadi tanda hipoglikemia (gula darah terlalu rendah). Sebaliknya, jika merasa haus berlebihan, sering buang air kecil, atau kelelahan ekstrem, itu bisa menjadi tanda hiperglikemia (gula darah terlalu tinggi). Jika gejala ini muncul, sebaiknya segera membatalkan puasa dan mengonsumsi makanan yang tepat2,3. 

Pengaturan makan untuk diabetesi saat berpuasa 

Setelah memenuhi prasyarat di atas, hal yang tidak kalah penting bagi diabetesi adalah mengetahui pengaturan makan saat berpuasa. Diabetesi disarankan untuk mengakhirkan makan sahur dan segera berbuka ketika waktu buka tiba4. Selain itu diabetesi juga harus memilih jenis makanan yang tepat saat sahur dan berbuka. Salah satu prinsip utama yang harus diperhatikan adalah konsumsi makanan tinggi serat dan rendah indeks glikemik (IG). 

  • Makanan tinggi serat, seperti sayuran hijau, biji-bijian utuh, dan kacang-kacangan, membantu memperlambat penyerapan glukosa di dalam usus sehingga kadar gula darah lebih stabil sepanjang hari5. 
  • Makanan dengan indeks glikemik rendah, seperti beras merah, oatmeal, dan ubi, tidak menyebabkan lonjakan gula darah yang drastis setelah makan, sehingga energi lebih bertahan lama. Penerapan pola makan rendah indeks glikemik (GI) adalah salah satu strategi yang disarankan untuk penyandang diabetes selama Ramadan6. 

Salah satu camilan yang dapat menunjang pola makan rendah indeks glikemik adalah SOYJOY. Camilan ini memiliki indeks glikemik yang rendah, dan juga kandungan 

serat yang tinggi, sehingga cocok untuk menemani diabetesi baik saat sahur, berbuka, maupun setelah tarawih karena bantu jaga gula darah tetap stabil, loh! Apalagi kini telah hadir variasi rasa baru, yaitu SOYJOY Kurma Nastar yang merupakan kombinasi dari kebaikan kedelai, kurma, dan nanas sehingga menimbulkan sensasi kelezatan kue nastar yang tidak hanya enak namun juga bisa bantu jaga gula darah tetap stabil. 

Sudah coba SOYJOY Kurma Nastar pada momen puasa kali ini? 

Author: Dian Rahma, S.Gz, Dietisien 

Referensi: 

1. Norhasanah, N., & Salman, Y. (2021). Penyuluhan Gizi Online dengan Media Video Audio Visual “Tetap Fit Saat Puasa dan Pasca Puasa dengan Gizi Seimbang”. Jurnal Abdimas Kesehatan (JAK), 3(1), 33-40. 

2. PERKENI. (2021). Pedoman pengelolaan dan pencegahan Diabetes melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. PB Perkeni, 46. 

3. Hassanein, M., Afandi, B., Ahmedani, M. Y., Alamoudi, R. M., Alawadi, F., Bajaj, H. S., … & Zainudin, S. B. (2022). Diabetes and Ramadan: practical guidelines 2021. Diabetes research and clinical practice, 185, 109185. 

4. PERKENI. (2022). Pedoman Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Individu Dewasa di Bulan Ramadan. 

5. Mao, T., Huang, F., Zhu, X., Wei, D., & Chen, L. (2021). Effects of dietary fiber on glycemic control and insulin sensitivity in patients with type 2 diabetes: A systematic review and meta-analysis. Journal of Functional Foods, 82, 104500. 

6. Balzer, B. W., Atkinson, F. S., Bell, K. J., & Steinbeck, K. S. (2015). Low glycemic index dietary interventions in cystic fibrosis. Diet and Exercise in Cystic Fibrosis, 209-219. 

Tips Anti Kalap Makan saat Berbuka

Tips Anti Kalap Makan saat Berbuka

Berbuka puasa adalah momen yang sangat dinantikan setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Namun, sering kali seseorang mengalami keinginan untuk makan secara berlebihan, atau yang sering disebut sebagai “kalap makan.” 

Kondisi ini dapat berdampak negatif pada kesehatan, seperti gangguan pencernaan, peningkatan berat badan, hingga lonjakan kadar gula darah secara mendadak. Oleh karena itu, penting untuk memahami penyebab terjadinya kalap makan dan tips untuk mengatasinya agar berbuka puasa tetap sehat dan terkendali. 

Mengapa kalap makan terjadi saat berbuka? 

Setelah berpuasa seharian, tubuh mengalami penurunan kadar gula darah dan perut dalam keadaan kosong dalam waktu yang cukup lama. Hal inilah yang memicu sinyal lapar lebih kuat, sehingga ketika waktu berbuka tiba, keinginan untuk makan dalam jumlah besar sulit dikendalikan. Jika tidak diatur dengan baik, kebiasaan ini dapat menyebabkan perut terasa begah, mual, serta lonjakan kadar gula darah yang berisiko terutama bagi penderita diabetes dan orang dengan gangguan metabolisme lainnya1. 

Tips anti kalap makan saat berbuka 

Kalap makan dapat dihindari dengan mengikuti anjuran yang tepat saat berbuka. Berikut merupakan beberapa tips agar tidak kalap makan saat berbuka: 

1. Mulailah dengan porsi kecil 

Awali dengan makanan ringan sebelum melanjutkan ke hidangan utama. Misalnya dengan mengonsumsi segelas air dan beberapa butir kurma, merupakan opsi makanan pembuka yang baik karena mengandung gula alami yang memberikan energi secara instan tanpa menyebabkan lonjakan kadar gula darah yang drastis. 

2. Kunyah makanan dengan perlahan 

Mengunyah makanan dengan perlahan mampu memberikan waktu bagi tubuh untuk mengirim sinyal kenyang ke otak, sehingga mencegah makan berlebihan2. 

3. Hindari makanan tinggi gula dan lemak 

Walaupun makanan tinggi gula dan lemak, seperti minuman dan makanan manis serta gorengan banyak tersaji saat berbuka, namun kita tetap harus bijak dalam memilih konsumsi makanan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi makanan tinggi lemak saat berbuka dapat memberikan sensasi heartburn, sehingga lebih baik dihindari1. 

4. Prioritaskan konsumsi makanan tinggi protein 

Sertakan beberapa sumber protein, seperti telur, lentil, kacang-kacangan atau buncis. Makanan berprotein adalah bagian penting dari komposisi makanan saat berbuka karena tidak hanya membantu memicu rasa kenyang, namun juga memiliki dampak yang lebih kecil pada kadar glukosa darah3. 

5. Pilih makanan tinggi serat 

Kaya akan serat, buah-buahan, sayuran, dan kacang-kacangan sangat penting dikonsumsi pada saat berbuka karena dapat meningkatkan rasa kenyang sehingga dapat menghindari kalap makan. Sertakan buah-buahan seperti semangka dan kiwi, sayuran seperti mentimun, dan kacang-kacangan seperti kedelai. Buah dan sayuran menyediakan serat dan mengurangi risiko sembelit3. 

Kini telah hadir camilan tinggi serat dengan sensasi kue nastar yang lezat, yaitu SOYJOY Kurma Nastar. Camilan ini dibuat dari kebaikan kedelai, kurma, dan nanas yang tinggi serat, sehingga bantu kamu kenyang lebih lama dan cegah kalap makan4. Selain manfaatnya untuk bantu cegah kalap makan, varian ini hadir dengan sensasi kelezatan kue nastar, loh! Apakah kamu sudah coba? 

Author: Dian Rahma, S.Gz, Dietisien 

Referensi: 

1. Shadman Z, Akhoundan M, Poorsoltan N, Khoshniat Nikoo M, Larijani B, Akhgar Zhand C, Soleymanzadeh M, Alsadat Seyed Rohani Z, Jamshidi Z. Nutritional Education Needs in Relation to Ramadan Fasting and Its Complications in Tehran, Iran. Iran Red Crescent Med J. 2016 Jun 8;18(8):e26130. doi: 10.5812/ircmj.26130. PMID: 27781112; PMCID: PMC5066803. 

2. Wallace, M., O’Hara, H., Watson, S., Goh, A. T., Forde, C. G., McKenna, G., & Woodside, J. V. (2023). Combined effect of eating speed instructions and food texture modification on eating rate, appetite and later food intake. Appetite, 184, 106505. 

3. Mehar, S. (2024). Fasting and feasting safely with type 2 diabetes in the month of Ramadan. Journal of Diabetes Nursing, 28(1). 

4. Listyarani, H., Prayudani, A. P. G., Prihandari, R., Prangdimurti, E., & Astawan, M. (2024, June). Effect of snack bar type on satiation and sensory acceptance in young adults. In IOP Conference Series: Earth

Author : Dian Rahma – Scientific & Regulatory Affairs

Editor : Deny Nurkhaedi Ramadhani – Graphic Design Marketing SOYJOY

Snack bar tinggi protein dan bebas gluten, apa kelebihannya?

Snack bar tinggi protein dan bebas gluten, apa kelebihannya?

Makanan tinggi protein masih menjadi primadona di kalangan sport enthusiast. Hal ini tidak terlepas dari beberapa fungsi protein itu sendiri, seperti untuk memperbaiki dan membangun kembali jaringan otot yang rusak, membantu pembentukan massa otot baru, mengurangi kerusakan otot, serta membantu mempercepat proses pemulihan1,2,3. Namun untuk memenuhi kebutuhan protein harian, sering kali terdapat beberapa tantangan. Misalnya pada orang yang memiliki sensitivitas atau intoleransi dengan gluten, mereka harus lebih jeli lagi dalam memilih makanan tinggi protein yang juga bebas dari gluten. 

 

Konsumsi produk bebas gluten cukup menjadi trending di berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum, sport enthusiast, bahkan atlet. Namun beberapa makanan bebas gluten dalam kemasan cenderung memiliki komposisi zat gizi yang kurang seimbang, seperti rendah protein4. Sehingga perlu ketelitian yang lebih tinggi pada saat memilih makanan yang bebas gluten. Namun apa sih sebenarnya makanan bebas gluten itu? Lalu apa kelebihannya ketika kita memilih snack bar tinggi protein bebas gluten? Yuk kita simak penjelasan lengkapnya!

 

Apa Itu Gluten?

Gluten adalah protein yang terdapat dalam biji-bijian seperti gandum, barley, dan rye. Gluten sebenarnya memiliki peran penting, yaitu memberikan elastisitas pada adonan roti dan membantu makanan mempertahankan bentuknya5

 

Bagi orang yang tidak menderita autoimun terhadap gluten atau biasa dikenal dengan Celiac disease, maupun mereka yang intoleran terhadap gluten, konsumsi makanan bebas gluten tidak memiliki efek yang signifikan terhadap performa olahraga6. Namun kondisi ini tentu sangat berbeda pada orang yang memiliki penyakit celiac atau intoleransi gluten, konsumsi makanan yang mengandung gluten menyebabkan berbagai gangguan kesehatan hingga pada kondisi serius.

 

Dampak gluten pada tubuh

Gluten memiliki dampak yang cukup signifikan apabila dikonsumsi oleh orang yang memiliki penyakit celiac atau intoleransi terhadap gluten, seperti:

 

  1. Gangguan Pencernaan

Bagi mereka yang memiliki intoleransi gluten atau penyakit celiac, mengonsumsi gluten dapat menyebabkan gangguan pencernaan seperti kembung, diare, dan sakit perut7. Gangguan ini tentu saja dapat mengganggu performa berolahraga.

Bahkan bagi mereka yang tidak memiliki intoleransi gluten, ada beberapa laporan tentang gangguan pencernaan ringan setelah mengonsumsi gluten dalam jumlah besar, yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan performa saat berolahraga8.

 

  1. Penyerapan zat gizi

Bagi penderita penyakit celiac, gluten dapat menyebabkan peradangan kronis pada usus. Peradangan ini bisa menghambat penyerapan zat gizi penting yang diperlukan untuk performa otot dan pemulihan setelah berolahraga9,10,11.

 

  1. Peradangan

Konsumsi gluten pada individu yang sensitif dapat menyebabkan peradangan kronis, yang dapat mempengaruhi kesehatan dan performa secara keseluruhan12. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet bebas gluten dapat mengurangi peradangan pada orang yang sensitif terhadap gluten, yang dapat berkontribusi pada pemulihan otot yang lebih cepat13

 

Kelebihan snack bar tinggi protein dan bebas gluten

Snack bar tinggi protein dan bebas gluten menawarkan berbagai manfaat yang dapat membantu kamu mencapai performa olahraga yang optimal. Berikut adalah beberapa kelebihannya:

 

  • Sumber Energi yang Stabil dan Mendukung Pemulihan Otot

Snack bar bebas gluten sering kali terbuat dari bahan-bahan seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan buah-buahan kering yang memberikan energi tahan lama tanpa lonjakan gula darah yang drastis. Hal ini akan membuat tubuh kamu mendapatkan energi yang stabil dan mencegah kelelahan. Selain itu, protein dalam snack bar juga dapat membantu memperbaiki dan membangun otot setelah latihan intensif. Hal ini penting untuk pemulihan otot dan mencegah cedera1,2,3.

 

  1. Praktis Dikonsumsi dan Mudah Dibawa

Snack bar adalah camilan yang praktis untuk kamu konsumsi dan mudah dibawa, sehingga menjadikannya pilihan ideal untuk kamu konsumsi baik pada saat sebelum maupun setelah latihan atau sebagai snacking bergizi saat bepergian.

 

  1. Mengurangi Risiko Gangguan Pencernaan

Bagi mereka yang sensitif terhadap gluten, snack bar bebas gluten mengurangi risiko gangguan pencernaan yang dapat mengganggu latihan dan performa olahraga14

Nah ada sedikit tips nih buat kamu yang sensitif terhadap gluten! Pastikan untuk selalu membaca label kemasan, sehinga kamu benar-benar yakin snack bar yang akan kamu konsumsi terbuat dari bahan-bahan berkualitas dan bebas gluten tentunya.

Kamu bisa memilih dan menjadikan SOYJOY sebagai snack bar bebas gluten yang tentunya tinggi protein loh! Terutama pada varian SOYJOY Open Sesame, dimana dalam setiap bar nya mengandung protein lebih tinggi hingga sebesar 7 gram. Selain itu karena SOYJOY dibuat dari kebaikan kedelai utuh dan bahan-bahan bebas gluten, sehingga aman untuk dikonsumsi bagi kamu yang memiliki sensitivitas terhadap gluten. 

 

Sudah makan SOYJOY hari ini?

 

Referensi:

  1. Jäger, R., Kerksick, C. M., Campbell, B. I., Cribb, P. J., Wells, S. D., Skwiat, T. M., … & Antonio, J. (2017). International society of sports nutrition position stand: protein and exercise. Journal of the International Society of Sports Nutrition, 14, 1-25.
  2. Moore, D. R. (2019). Maximizing post-exercise anabolism: the case for relative protein intakes. Frontiers in nutrition, 6, 485822.
  3. Deutz, N. E., Bauer, J. M., Barazzoni, R., Biolo, G., Boirie, Y., Bosy-Westphal, A., … & Calder, P. C. (2014). Protein intake and exercise for optimal muscle function with aging: recommendations from the ESPEN Expert Group. Clinical nutrition, 33(6), 929-936. 
  4. Kulai, T., & Rashid, M. (2014). Assessment of nutritional adequacy of packaged gluten-free food products. Canadian Journal of Dietetic Practice and Research, 75(4), 186-190.
  5. Giménez, M. J., Gil-Humanes, J., Alvarez, J. B., & Barro, F. (2015). Cereals Taxonomy: The Role of Domestication and Breeding on Gluten Intolerance. Advances in the Understanding of Gluten related Pathology and the Evolution of Gluten-Free Foods, 493.
  6. Lis, D., Stellingwerff, T., Kitic, C. M., Ahuja, K. D., & Fell, J. (2015). No effects of a short-term gluten-free diet on performance in nonceliac athletes. Medicine & Science in Sports & Exercise, 47(12), 2563-2570.
  7. Salomatov, A., Shcherbakova, E., & Mezentcev, V. (2019, November). Gluten Free Food in the diet of athletes. In 4th International Conference on Innovations in Sports, Tourism and Instructional Science (ICISTIS 2019) (pp. 234-237). Atlantis Press.
  8. Al-Toma, A., Volta, U., Auricchio, R., Castillejo, G., Sanders, D. S., Cellier, C., … & Lundin, K. E. (2019). European Society for the Study of Coeliac Disease (ESsCD) guideline for coeliac disease and other gluten-related disorders. United European gastroenterology journal, 7(5), 583-613.
  9. Biesiekierski, J. R. (2017). What is gluten?. Journal of gastroenterology and hepatology, 32, 78-81.
  10. Cabanillas, B. (2020). Gluten-related disorders: Celiac disease, wheat allergy, and nonceliac gluten sensitivity. Critical reviews in food science and nutrition, 60(15), 2606-2621.
  11. Elli, L., Branchi, F., Tomba, C., Villalta, D., Norsa, L., Ferretti, F., … & Bardella, M. T. (2015). Diagnosis of gluten related disorders: Celiac disease, wheat allergy and non-celiac gluten sensitivity. World journal of gastroenterology: WJG, 21(23), 7110.
  12. Ziegler, K., Neumann, J., Liu, F., Fröhlich-Nowoisky, J., Cremer, C., Saloga, J., … & Lucas, K. (2019). Nitration of wheat amylase trypsin inhibitors increases their innate and adaptive immunostimulatory potential in vitro. Frontiers in immunology, 9, 3174.
  13. D’angelo, S. T. E. F. A. N. I. A., Cusano, P., & Di Palma, D. (2020). Gluten-free diets in athletes. Journal of Physical Education and Sport, 20, 2330-2336.
  14. Lis, D. M., Fell, J. W., Ahuja, K. D., Kitic, C. M., & Stellingwerff, T. (2016). Commercial Hype Versus Reality: Our Current Scientific Understanding of Gluten and Athletic Performance. Current sports medicine reports, 15(4), 262–268. https://doi.org/10.1249/JSR.0000000000000282

 

Author : Dian Rahma – Scientific & Regulatory Affairs

Editor : Deny Nurkhaedi Ramadhani – Graphic Design Marketing SOYJOY

Sudah Annual Check-Up Prediabetes belum Tahun ini? Yuk, jangan sampe Skip ya!

Sudah Annual Check-Up Prediabetes belum Tahun ini? Yuk, jangan sampe Skip ya!

Melewati awal tahun 2025, semakin banyak pemberitaan terkait dengan masalah kesehatan yang cukup mengkhawatirkan dan perlu menjadi perhatian kita saat ini, yaitu adanya peningkatan penderita Prediabetes dan Diabetes Melitus jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini terbukti dari perbandingan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 20181 dan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 20232, dimana angka penderita Diabetes Melitus pada penduduk berusia ≥ 15 tahun meningkat dari 10,9% menjadi 11,7%. Hasil temuan pada SKI ternyata lebih tinggi jika dibandingkan estimasi prevalensi dari International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021 loh3

 

Namun, tahukah kamu bahwa diabetes sebenarnya dapat dicegah sejak fase prediabetes dengan melakukan perubahan gaya hidup dan perawatan yang tepat? Yuk, kita bahas lebih lanjut tentang pentingnya skrining prediabetes sebagai mid-year check point!

 

Diabetes dan Prediabetes di Indonesia

Diabetes adalah kondisi di mana kadar gula darah seseorang melebihi batas normal. Kondisi ini dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius seperti penyakit jantung, kerusakan saraf, dan masalah penglihatan4

Di Indonesia, prevalensi diabetes terus meningkat akibat gaya hidup yang tidak sehat dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pemeriksaan rutin1,2

 

Prediabetes adalah suatu kondisi di mana kadar gula darah seseorang lebih tinggi dari normal, tetapi belum cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes tipe 2. Prediabetes dapat diidentifikasi dari hasil gula darah puasa (GDP) sebesar 100-125 mg/dL; atau gula darah 2 jam setelah TTGO 140-200 mg/dL; atau HbA1c 5,7-6,4%4.

Di Indonesia sendiri,  1 dari 3 orang berusia ≥ 15 tahun yang diperiksa gula darahnya memiliki hasil yang tergolong ke dalam prediabetes2

 

Prediabetes adalah tanda peringatan bahwa kamu berisiko tinggi terkena diabetes. Pada pengamatan individu dengan prediabetes dalam perkembangannya mempunyai 3 kemungkinan, yaitu berkembang menjadi diabetes, tetap sebagai prediabetes, dan sepertiganya akan kembali ke gula darah normal. Namun, dengan deteksi dini dan perubahan gaya hidup yang tepat, prediabetes bisa diatasi sebelum berkembang menjadi diabetes5.

 

Siapa saja yang disarankan untuk melakukan pemeriksaan prediabetes secara rutin4

  • Orang yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 23 kg/m² 
  • Memiliki riwayat keturunan diabetes dalam keluarga
  • Aktivitas fisik harian yang kurang
  • Hipertensi atau tekanan darah tinggi (≥ 140/90 mmHg)
  • HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL
  • Wanita dengan sindrom polokistik ovarium (PCOS)
  • Wanita dengan riwayat diabetes gestasional atau riwayat melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg
  • Serta memiliki riwayat pemeriksaan prediabetes sebelumnya

 

Pola Hidup Sehat untuk Mencegah Prediabetes Berkembang menjadi Diabetes

Mengubah gaya hidup adalah kunci untuk mencegah prediabetes berkembang menjadi diabetes. Berikut ada beberapa tips pola hidup sehat yang dapat kamu terapkan nih!

1. Makan Sehat

Beberapa studi menyimpulkan bahwa pengaturan pola makan dapat mengurangi risiko prediabetes berkembang menjadi diabetes sebesar 32%6. Utamakan konsumsi makanan yang tinggi serat, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian. Makanan yang tinggi gula dan lemak juga sebaiknya dihindari7. Selain itu, pilihlah makanan atau camilan yang mempunyai indeks glikemik rendah, seperti SOYJOY yang terbuat dari kedelai utuh, tinggi protein dan serat sehingga bisa bantu jaga gula darah kamu tetap stabil.

2. Aktivitas Fisik dan Olahraga

Aktivitas fisik dan olahraga merupakan bagian yang tidak kalah penting dalam penanganan prediabetes. Proporsi penderita diabetes usia 18-59 tahun yang melakukan aktivitas fisik kurang, 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik cukup. Studi membuktikan aktivitas fisik dan olahraga dapat menurunkan risiko diabetes sampai dengan 42% dan apabila dikombinasikan dengan perbaikan pola makan, risiko dapat menurun hingga 58%2

Hal ini karena peningkatan aktivitas fisik dan olahraga dapatmenurunkan peningkatkan kadar gula darah setelah makan, memperbaiki metabolisme tubuh, serta membantu memperbaiki respon tubuh terhadap hormon insulin yang mengatur kadar gula dalam darah. Lakukan aktivitas fisik dan olahraga setidaknya 150 menit dalam seminggu, seperti berjalan kaki, jogging, bersepeda, atau latihan angkat beban untuk meningkatkan massa otot tubuh5

3. Pantau Berat Badan

Mencapai dan menjaga berat badan ideal dapat membantu mengurangi risiko diabetes. Sebuah studi menunjukkan bahwa penurunan 1 kg berat badan akan menurunkan risiko  diabetes sebesar 7%8. Selain memantau berat badan secara keseluruhan, penting juga untuk memperhatikan lingkar perut kamu jangan sampai tergolong obesitas sentral (lingkar perut >80 cm untuk wanita dan >90 cm untuk laki-laki). Berdasarkan salah satu penelitian di Jepang, individu dengan obesitas sentral memiliki risiko 72% lebih tinggi terkena diabetes dibandingkan individu tanpa obesitas sentral9. Pada penderita diabetes usia 18-59 tahun yang tergolong obesitas sentral, jumlahnya 3 kali lebih tinggi dibandingkan penderita diabetes yang memiliki lingkar perut dibawah itu.

4. Hindari  Konsumsi Alkohol dan Merokok

Setelah mengatur pola makan, berolahraga, dan menjaga berat badan ideal, kini saatnya juga untuk mulai mengurangi kebiasaan buruk seperti merokok dan mengonsumsi alkohol. Merokok dapat meningkatkan risiko diabetes dan komplikasi lainnya. Terdapat peningkatan risiko dua kali lipat untuk menjadi diabetes pada individu yang merokok dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok5. Selain itu, alkohol pada umumnya memiliki kandungan gula yang cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan risiko diabetes.

Meningkatnya jumlah penderita diabetes di Indonesia adalah masalah serius yang perlu perhatian kita semua. Namun, dengan melakukan pemeriksaan prediabetes secara rutin, kita dapat mendeteksi kondisi ini sejak dini dan mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan. Pola hidup sehat seperti memilih makanan bergizi, berolahraga rutin, dan menjaga berat badan ideal adalah langkah-langkah penting untuk mencegah prediabetes berkembang menjadi diabetes.

Jadi, jangan ragu untuk melakukan pemeriksaan rutin dan memulai perubahan gaya hidup sehat sekarang juga, ya!

 

Referensi:

  1. Kemenkes, R. I. (2018). Laporan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) Indonesia tahun 2018. Riset Kesehatan Dasar, 2018, 182-183.
  2. Kementerian  Kesehatan, R. I.  (2023).  Survei  Kesehatan  Indonesia (SKI) 2023. Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
  3. Federation, I. D. (2021). IDF diabetes atlas, tenth. International Diabetes.
  4. PERKENI. (2021). Pedoman pengelolaan dan pencegahan Diabetes melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. PB Perkeni, 46.
  5. PERSADIA dan PERKENI. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Prediabetes di Indonesia 2019. Surabaya: Airlangga University Press. ISBN 987-602-473-588-3
  6. Evert, A. B., Dennison, M., Gardner, C. D., Garvey, W. T., Lau, K. H. K., MacLeod, J., … & Yancy Jr, W. S. (2019). Nutrition therapy for adults with diabetes or prediabetes: a consensus report. Diabetes care, 42(5), 731.
  7. NICE. (2019). Type 2 Diabetes: prevention in people at high risk. National Institute for Health and Care Excellence 2019.
  8. Haw, J. S., Galaviz, K. I., Straus, A. N., Kowalski, A. J., Magee, M. J., Weber, M. B., … & Ali, M. K. (2017). Long-term sustainability of diabetes prevention approaches: a systematic review and meta-analysis of randomized clinical trials. JAMA internal medicine, 177(12), 1808-1817.
  9. Cao, C., Hu, H., Zheng, X., Zhang, X., Wang, Y., & He, Y. (2022). Association between central obesity and incident diabetes mellitus among Japanese: a retrospective cohort study using propensity score matching. Scientific Reports, 12(1), 13445.

 

Author : Dian Rahma – Scientific & Regulatory Affairs

Editor : Deny Nurkhaedi Ramadhani – Graphic Design Marketing SOYJOY